Rabu, 21 Maret 2012

APRESIASI NOVEL ZIARAH KARYA IWAN SIMATUPANG


 KARYA 
MIMIN MINTARI
2222090200
DIKSATRASIA 3A


Bernama lengkap Iwan Maratua Dongan Simatupang, dilahirkan di Sibolga, Sumatera Utara, 18 Januari 1928. Masuk Fakultas Kedokteran di Surabaya pada tahun 1953. Kemudian, akhir 1954 dia menuju Amsterdam, Belanda untuk belajar atas beasiswa Sticusa (Stichting voor Culturele Samenwerking), bidang antropologi di Fakulteit der Letteren, Rijksuniversiteit, Leiden, lalu masuk jurusan Filsafat Barat Universitas Sorbonne, Paris, Perancis.
Ketika di Belanda, sejak 1955 sampai 1958, Iwan giat menulis di majalah Gajah Mada, terbitan Yogyakarta. Artikelnya mencakup esai sastra, drama, film, seni rupa, juga ihwal kebudayaan pada umumnya. Selama studi Antropologi dan Sosiologi di Amsterdam, Iwan pun mengarang drama. Tahun 1957 lahir dramanya berjudul Buah Delima dan Bulan Bujur Sangkar. Tahun berikutnya, dia tulis drama Taman. Saat diterbitkan drama itu diberi judul Petang di Taman.
Iwan pernah menjadi guru, wartawan, pengarang cerpen dan puisi, selain menulis esai, drama dan novel. Puisinya pertamanya dipublikasikan berjudul Ada Dukacarita di Gurun, dimuat majalah Siasat edisi 6 Juli 1952. Sajaknya yang lain adalah Ada Dewa Kematian Tuhan, Apa kata Bintang di Laut, dan Ada Tengkorak Terdampar di Pulau Karang. Puisi-puisi itu dimuat di majalah Siasat Baru edisi 30 Desember 1959. Selanjutnya, judul-judul cerpen Iwan adalah Monolog Simpang Jalan, Tanggapan Merah Jambu tentang Revolusi, Kereta Api Lewat di JauhaI, Patates Frites, Tunggu Aku di Pojok Jalan Itu, Tegak Lurus dengan Langit, Tak Semua Tanya Punya Jawab dan lain-lain. kritikus sastra menyebut karyanya sebagai avant garde terhadap buah pena Iwan. Iwan sendiri menyebut dirinya manusia marjinal, manusia perbatasan. Dalam novelnya Ziarah, Merahnya Merah, Kering dan Koong, juga pada drama-dramanya, Petang di Taman, RT 0 RW 0, maupun Kaktus dan Kemerdekaan, begitu pula dalam cerpen-cerpennya, para tokohnya terkesan berkelakuan aneh, tidak rasional.
Iwan mendapat hadiah penghargaan untuk cerita pendeknya dalam Erwin Gastilla di Filipina, dan hadiah untuk karya nonfiksi dari Mrs. Judi Lee dari Singapura. Tokoh-tokoh dalam cerita Iwan adalah manusia terpencil, kesepian, terasing, dilanda tragedi, perenung, dan cenderung murung. Tokoh-tokoh dalam karyanya menurut Iwan sendiri adalah manusia perbatasan, manusia eksistensialisme. Makanya, ada beberapa kalangan penikmat karya-karya Iwan, menilai karangan-karangan Iwan sulit dicerna. Karangan-karangan Iwan bertokoh manusia-manusia yang tidak masuk akal atau manusia aneh. Dalam drama Petang di Taman yang liris puitis, misalnya, tokoh-tokohnya seperti berkata pada dirinya sendiri, berfilsafat, dan putus komunikasi dengan orang lain, atau lingkungannya. Tapi, disinilah kekhasan karya Iwan, yang membedakannya dengan karya-karya para pendahulunya.
Novel karya Iwan Simatupang yang akan saya apresiasikan adalah novel yang berjudul Ziarah. Ziarah disini saat saya liat dari cover bukunya, saya kira cerita seseorang yang ziarah ke kuburan istrinya yang sudah meninggaal, atau saya kira tentang ziarah-menziarahi ketika hari raya. Ternyata itu semua tidak ada hubungnnya saat saya selesai membaca novelnya itu. Ziarah di sini ialah tentang ziarah perkuburan. Tentang seorang lelaki berbakat besar yang hilang arah dan punca setelah kematian isterinya. Isteri yang dinikahinya secara tidak sengaja, tertimpa ketika cobaan membunuh diri.
Seperti para penikmat karya-karya Iwan, saya pun mengalaminya bahwa salah satu novel Ziarah karya Iwan Simatupang ini pun susah untuk dipahaminya. Untuk menganalisis novel ini, sebaiknya kita baca berulang-ulang, karena kata-katanya yang sulit unutk dicerna. Dalam novel Ziarah ini, penulis tidak mencantumkan nama tokoh-tokohnya, jadi untuk saya pribadi saat saya baca novel ini terasa bingung untuk mengingat tokoh yang satu dengan tokoh yang lainnya, novel ini juga menggunakan alur flashback atau alur campuran yang membuat saya binggung unutk mengapresiasikannya. Dalam novel ini diceritakan seorang mantan pelukis yang sangat kaya raya, yang banyak dikagumi diseluruh kota maupun seluruh negara. Tetapi tidak tahu sebabnya apa, si pelukis itu menjadi stress, sampai saat istrinya meninggalpun ia tidak tahu. Ia malah tahu bahwa istrinya itu meninggal dari orang lain. Setiap malam, perutnya dituangi oleh arak penuh-penuh, memanggil Tuhan keras-keras, kemudian meneriakkan nama istrinya keras-keras, menangis keras-keras. Tapi dia sendiri malah tidak mau melihat istrinya yang sudah jadi mayat itu.
Dalam novel ini diceritakan bahwa seorang pelukis itu diberi uang sangat banyak sekali oleh seorang wanita yang ingin membeli lukisannya itu. Ia bingung harus dibagaimanakan uang sebanyak itu, sdangkan ia sudah tidak punya apa-apa, istrinya yang ia sanyang sudah meninggal. Dari mulai ia ikut taruhan, ia berjudi, berharap ia kalah supaya uangnya itu habis tetapi kemenangan berpihak padanya, ia pun menang dan uang itu semakin bertambah banyak. Bahakan nafsu menembak dan bertaruhnya semakin tak kenal batas, sampai-sampai kepada jenis kelamin bayi yang akan dilahirkan oleh ratu dari suatu negarapun, ia ikut menebak, tetap ia menang!.  
Saat bekas pelukis yang berbakat itu dinilai oleh warga sebagai orang yang memiliki sifat dan sikap yang begitu aneh, datanglah seorang opseter menawarinya pekerjaan sebagai pekerja yang bertugas mengapur seluruh tembok luar pekuburan kotapraja yang ada dibawah pengawasannya itu.Tiga hari sudah ia bekerja mengapur luar tembok pekuburan kotapraja, menjelang benamnya matahari, dia berhenti bekerja, membenahkan alat-alatnya, menagih upahnya, pergi tenang sambil bersiul-siul ke kedai arak. Dan menurut berita orang-orang di situ, sedikitpun tingkah-lakunya tak menunjukkan keanehan apa-apa – yang sendiri sebenarnya sudah merupakan keanehan tersendiri. Sebelum dia memborong pekerjaan mengapur tembok-tembok luar perkuburan itu, orang-orang di kedai sudah biasa dengan tingkah anehnya. Kini dia menjadi perhatian umum, perbincangan seluruh kota. Dengan was-was mereka mengamati tingkahnya yang sudah tidak aneh lagi itu. Seolah-olah ketidak anehan adalah sendiri keanehan.
Bekas pelukis itu menikah dengan gadis cantik. Pernikahan merekapun tidak disengaja, karena pada saat bekas pelukis itu berniat untuk bunuh diri, wanita itu tertindih badan bekas pelukis itu saat itu loncat dari lantai atas sebuah hotel. Kehidupan saat ia bersama istrinya yang waktu itu masih hidup dan mereka tinggal bersama, mereka adalah keluarga yang sangt harmonis, tetapi pada suatu saat titik balik hidup mewah dan bahagia bekas pelukis itu  pada saat akan berbulan madu, tidak ada losmen, hotel, mnumpang tidur dibawah jembatan, atau tidur dikaki lima sekalipun, gelandangan tidak mau menerima mereka. Itu semua disebabkan karena saat resepsi pernikahan bekas pelukis itu banyak sekali karangan bunga yang dikirim dari berbagai Negara, jadi seluruh kota disitu semuanya diutupi oleh karangan bunga dan para pedagangan dagingpun baru bisa berdagang saat seminggu kemudian, mereka merasa terganggu dengan banyaknya bunga-bunga itu maka mereka tidak bisa berjulan, dan wargapun berdemonstrasi kerumah walikota, dan mereka menggunakan slogan : Nyahkan pelukis itu!  
Susah sekali menjelaskan lebih terperinci jalannya cerita dalam novel ini, dikarenakan bahasanya yang sangat rumit untuk dimengerti dan jalan ceritanya pun bolak-balik serta tidak adanya nama-nama tokoh. Tetapi akhir cerita pada novel ini adalah saat opseter itu meninggal karena punuh diri, maka bekas pelukis, bekas pengapur itu langsung melamar untuk menjadi opseter dipekuburan itu, karena ia sadar ia tidak pernah sekalipun menziarahi kuburan istrinya, waluoun ia juga tidak tahu kuburan istrinya itu yang mana. Dengan ia bekerja sebagai opseter, maka ia akan selalu dekat dengan istrinya walaupun hanya dekat dekat dengan kuburannya saja.
Amanat yang saya dapatkan setelah membaca novel Ziarah karya Iwan Simatupang adalah dari segi tentang kematian. Dalam novel ini kematian seseorang yang akan dikuburkan adalah masalah yang rumit dan ribet sekali. Jika ada jenazah yang akan dimakamkan, maka ia harus mengisi formulir terlebih dahulu dan segala macam hal lainnya. Seperti dalam kisah novel ini, saat istri bekas pelukis itu meninggal dan jenazahnya akan dimakamkan, harus melalui proses yang berkepanjangan terlebih dahulu. Bekas pelukis itu berpendapat, jika caranya seperti itu, maka sama saja mereka menyiksa dua kali penderitaan mayat tersebut. kita lihat pada zaman sekarang, contohnya pekuburan dikota Jakarta, setiap ada jenazah yang akan dimakamkan itu harus membeli tanah kuburannya terlebih dahulu, dan itu harus dengan biaya yang sangat besar sekali dan kuburan itu akan permanen ada, dan tidak akan dibongkar meski usia kuburan itu sudah berusia 50 tahunan. Berbeda dengan pekuburan yang ada didesa, walaupun ada jenazah yang akan dimakamkan, pihak keluarga tidak usah membeli tanah kuburannya dulu, cukup dengan memberikan uang seikhlasnya untuk tukang yang ikut menguburkan jenazah itu saja.
Amanat berikutnya adalah dalam hal rasa bersyukur kepada Tuhan. Dalam tokoh bekas pelukis itu, dapat kita lihat bahwa dia sangat tidak brsyukur dengan rezeki yang diberikan Tuhan kepadanya. Tuhan memberikan ia uang yang banyak, tetapi dia ingin uang itu habis dengan tidak menggunakannya dengan hal yang berguna, seperti ia menolong orang yang kekurangan mampu, memberikannya kepada yang lebih berhak atau hal yang lainnya. Didalam novel ini, bekas pelukis itu malah berniat menghabiskan uang  sebanyak itu dengan ikut taruhan yang tidak  penting, berjudi siang malam, ikut tebak menebak jenis kelamin bayi yang akan dilahirkan oleh ratu suatu negara sekalipun,  sampai ia berganti-ganti hotel supaya uang itu habis tetapi kemenangan selalu berpihak kepada dia, maka walaupun berbagai cara ia lakukan untuk menghabiskan uang itu, uang itu malah bertambah banyak. Jadi, sekecil apapun, dalam bentuk apapun jika itu adalah rezeki dari Tuhan yang diberikan untuk kita, kita harus menerimanya dan mensyukurinya karena Tuhan itu menguji umatnya saat umatnya itu diberikan rezeki yang melimpah. Tuhan itu ingin tahu apakah rezeki yang diberikanNya itu dipergunakan dengan baik atau sebaliknya.
Novel ini juga, bisa kita nilai dari segi pendidikannya. Diceritakan pada tokoh opseter pekuburan kotapraja itu, ternyata dia adalah semasa sekolahnya salah satu murid yang sangat pandai, kecerdasan otaknya bukan saja dari jenis yang cepat dapat menangkap sesuatu, tapi juga cepat menciptakan sesuatu hal yang baru. Semua hal ini diketahui pada saat opseter itu bunuh diri ditempat rumah dinasnya. Opseter itu tidak melanjutkan sekolahnya sampai selesai demi untuk menjadi seorak opseter disebuah pekuburan dikotapraja itu, dan saya tidak terlalu paham alasan dia memilih menjadi seorang opseter dibanding melanjutkan sekolahnya. Jika kita pikir secara logika, apakah ada dikehidupan nyata jika seseorang yang sangat pandai rela meninggalkan pendidikannya hanya ingin bekerja seorang opseter yang pekerjaanya mengurusi pekuburan. Jika memang ada, seharusnya hal itu jangan dilakukan, karena bagaimanapun pendidikan itu harus di nomor satukan. Jika pendidikan nya sudah dijalaninya hingga selesai, kemudian mendapatkan ijazah, maka kita pun akan mudah untuk mendapatkan pekerjaan yang kita inginkan, asalkan ada usaha dan doa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar