Rabu, 21 Maret 2012

APRESIASI NOVEL LAYAR TERKEMBANG KARYA SUTAN TAKDIR ALISJAHBANA


KARYA 
MIMIN MINTARI
2222090200
DIKSATRASIA 3A

Sutan Takdir Alisjahbana, lahir di Natal 11 februari 1908 adalah sastrawan Indonesia. Menamatkan HKS di Bandung 1928 meraih Mr. dari Sekolah Tinggi di Jakarta (1942), dan menerima Dr. Honoris Causa dari UI (1979) dan Universiti Sains, Penang, Malaysia (1987). Diberi nama Takdir karena jari tangannya hanya ada 4. Pernah menjadi redaktur Panji Pustaka dan Balai Pustaka (1930-1933), kemudian mendirikan dan memimpin majalah Pujangga Baru (1933-1942 dan 1948-1953), Pembina Bahasa Indonesia (1947-1952), dan Konfrontasi (1954-1962). Pernah menjadi guru HKS di Palembang (1928-1929), dosen Bahasa Indonesia, Sejarah, dan Kebudayaan di UI (1946-1948), guru besar Bahasa Indonesia, Filsafat Kesusastraan dan Kebudayaan di Universitas Nasional, Jakarta (1950-1958), guru besar Tata Bahasa Indonesia di Universitas Andalas, Padang (1956-1958), dan guru besar & Ketua Departemen Studi Melayu Universitas Malaya, Kuala Lumpur (1963-1968).
Sebagai anggota Partai Sosialis Indonesia, STA pernah menjadi anggota parlemen (1945-1949), anggota Komite Nasional Indonesia, dan anggota Konstituante (1950-1960). Selain itu, ia menjadi anggota Societe de linguitique de Paris (sejak 1951), anggota Commite of Directors of the International Federation of Philosophical Sociaties (1954-1959), anggota Board of Directors of the Study Mankind, AS (sejak 1968), anggota World Futures Studies Federation, Roma (sejak 1974), dan anggota kehormatan Koninklijk Institute voor Taal, Land en Volkenkunde, Belanda (sejak 1976). Dia juga pernah menjadi Rektor Universitas Nasional, Jakarta, Ketua Akademi Jakarta (1970-1994), dan pemimpin umum majalah Ilmu dan Budaya (1979-1994), dan Direktur Balai Seni Toyabungkah, Bali (-1994).
Dalam kedudukannya sebagai penulis ahli dan kemudian ketua Komisi Bahasa selama pendudukan Jepang,Takdir melakukan modernisasi bahasa Indonesia sehingga dapat menjadi bahasa nasional yang menjadi pemersatu bangsa. Ia yang pertama kali menulis Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia (1936) dipandang dari segi Indonesia, buku mana masih dipakai sampai sekarang, serta Kamus Istilah yang berisi istilah- istilah baru yang dibutuhkan oleh negara baru yang ingin mengejar modernisasi dalam berbagai bidang. Setelah Kantor Bahasa tutup pada akhir Perang Dunia kedua, ia tetap mempengaruhi perkembangan bahasa Indonesia melalui majalah Pembina Bahasa yang diterbitkan dan dipimpinnya. Sebelum kemerdekaan, STA adalah pencetus Kongres Bahasa Indonesia pertama di Solo. Pada tahun 1970 STA menjadi Ketua Gerakan Pembina Bahasa Indonesia dan inisiator Konferensi Pertama Bahasa- Bahasa Asia tentang "The Modernization of The Languages in Asia (29 September-1 Oktober 1967).
ia menulis novel Layar Terkembang ini di usia 29 tahun. Selain menulis, ia juga menerjemahkan buku, pendiri dan editor Pujangga Baru. Sutan Takdir adalah penulis yang produktif. Ia tak hanya menulis novel, tapi juga buku sejarah sastra dan budaya, artikel, puisi, naskah, dan banyak lagi. Buku-bukunya dikenal hingga ke luar negeri. Selain Layar terkembang, novel karyanya adalah Tak Putus Dirundung Malang (1929), Dian Tak Kunjung Padam , 1932), Anak Perawan di Sarang Penyamun (1940), Grotta Azura (1970) dan sebagainya. 
Kaitan Sutan Takdir Alisjahbana pada masa Pujangga Baru yaitu nama angkatan Pujangga Baru diambil dari sebuah nama majalah sastra yang terbit tahun 1933. Majalah itu bernama Pujangga Baroe. Majalah Pujangga Baru dipimpin oleh Sutan Takdir Alisyahbana, Amir Hamzah, Sanusi Pane, dan Armijn Pane. Keempat tokoh tersebutlah sebagai pelopor Pujangga Baru.
Angkatan Pujangga Baru disebut Angkatan Tiga Puluh. Angkatan ini berlangsung mulai 1933 – 1942 (Masa penjajahan Jepang). Karya-karya sastra yang lahir dalam angkatan ini mulai memancarkan jiwa yang dinamis, individualistis, dan tidak terikat dengan tradisi, serta seni harus berorientasi pada kepentingan masyarakat. Di samping itu, kebudayaan yang dianut masyarakat adalah kebudayaan dinamis. Kebudayaan tersebut merupakan gabungan antara kebudayaan barat dan kebudayaan timur sehingga sifat kebudayaan Indonesia menjadi universal.
Roman pada angkatan 33 ini banyak menggunakan bahasa individual, pengarang membiarkan pembaca mengambil simpulan sendiri, pelaku-pelaku hidup/bergerak, pembaca seolah-olah diseret ke dalam suasana pikiran pelaku- pelakunya, mengutamakan jalan pikiran dan kehidupan pelaku-pelakunya. Dengan kata lain, hampir semua buku roman angkatan ini mengutamakan psikologi.
Ciri-ciri karya sastra pada masa Pujangga Baru antara lain : Tema utama adalah persatuan,  Beraliran Romantis Idialis, Dipengaruhi angkatan 80 dari negeri Belanda, Genre sastra yang paling banya adalah roman, novel, esai, dan sebagainya, Karya sastra yang paling menonjol adalah Layar Terkembang, Bentuk puisi dan prosa lebih terikat oleh kaidah-kaidah, Isi bercorak idealisme, dan Mementingkan penggunaan bahasa yang indah-indah.
Contoh roman pada angkatan ini, yaitu Belenggu karya Armin Pane (1940) dan Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisyahbana. Di samping itu, ada karya roman lainnya, diantaranya Hulubalang Raja (Nur Sutan Iskandar, 1934), Katak Hendak Menjadi Lembu (Nur Sutan Iskandar, 1935), Kehilangan Mestika (Hamidah, 1935), Ni Rawit (I Gusti Nyoman, 1935), Sukreni Gadis Bali (Panji Tisna, 1935), Di Bawah Lindungan Kabah (Hamka, 1936), I Swasta Setahun di Bendahulu (I Gusti Nyoman dan Panji Tisna, 1938), Andang Teruna (Soetomo Djauhar Arifin, 1941), Pahlawan Minahasa (M.R.Dajoh, 1941).
Jika kita lihat ciri-ciri karya sastra pada sejarah tentang karya-karya sastra yang muncul pada masa Pujangga Baru, memang nyata sekali pada novel Layar terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana. Sebelumnya, saat saya mendengar judul dari buku ini saya pikir ceritanya tentang seorang nelayan yang sedang mencari ikan di laut atau cerita tentang sebuah kapal yang sedang berlayar. Tetapi itu semua salah, karena yang sebenarnya cerita dari novel ini adalah Layar Terkembang yang merupakan sebuah novel bernuansa roman karya Sutan Takdir Alisjahbana. Ceritanya melukiskan perjuangan wanita Indonesia beserta cita-citanya. Roman ini memperkenalkan masalah wanita Indonesia yang mulai merangkak pada pemikiran modern. Kaum wanita mulai bangkit untuk memperjuangkan hak-haknya sebagai wanita, berwawasan luas, serta bercita-cita mandiri. Masalah lain yang dipersoalkan dalam roman ini, yaitu masalah kebudayaan barat dan timur. Juga termasuk masalah agama.
Kisah bermulai dari sosok kakak beradik yang berpengarai berbeda, Tuti dan Maria. Tuti seorang kakak yang selalu serius dan aktif dalam berbagai kegiatan wanita. Ia bahkan aktif dalam memberikan orasi-orasi tentang persamaan hak kaum wanita. Pada saat itu, semangat kaum wanita sedang bergelora sehingga mereka mulai menuntut persamaan dengan kaum pria. Pada sosok Tuti, dalam perjalanan hidupnya, ia menjadi anggota Putri Sedar yang sering berpidato tentang fenimisme didunia ini. Seperti contoh dalam pidatonya, yaitu “ hitam, hitam sekali penghidupan perempuan bangsa kita di masa yang silam, lebih hitam, lebih kelam dari malam yang gelap. Perempuan bukan manusia seperti laki-laki yang mempunyai pikiran dan pandangan sendiri, yang mempunyai hidup sendiri, perempuan hanya hamba sahaya, perempuan hanya budak yang harus bekerja dan melahirkan anak bagi laki-laki, dengan tiada mempunyai hak. Setinggi-tingginya ia menjadi perhiasan, menjadi permainan yang dimulia-muliakan selagi disukai, tetapi dibuang dan ditukar apabila telah kabur cahayanya”. Tuti imgim derajat perempuan itu disejajarkan dengan derajat laki-laki, tuti ingin membuktikan kepada seluruh dunia bahwa perempuan juga bisa berperan penting dalam mebangun lapangan pekerjaan.  
 Sedangkan Maria adalah adik yang lincah dan periang sehingga semua orang yang berada di dekatnya pasti akan menyenangi kehadirannya. Di tengah-tengah dua dara jelita ini, muncullah Yusuf, seorang mahasiswa kedokteran, yang pada masa itu lebih dikenal dengan sebutan Sekolah Tabib Tinggi. Sejak pertemuannya yang pertama di gedung akuarium Pasar Ikan, antara Maria dan Yusuf timbul kontak batin sehingga mereka menjadi sepasang kekasih.
Sementara itu, Tuti yang melihat hubungan cinta kasih adiknya sebenarnya berkeinginan pula untuk memiliki seorang kekasih. Apalagi setelah ia menerima surat cinta dari Supomo, seorang pemuda terpelajar yang baik hati dan berbudi luhur. Namun, karena pemuda itu bukanlah idamannya, ia menolak cintanya. Sejak itu hari-harinya semakin disibukkan dengan kegiatan organisasi dan melakukan kegemarannya membaca buku sehingga ia sedikit melupakan angan-angannya tentang seorang kekasih. Kemudian sebelum supomo yang menyatakan cintanya pada Tuti, sosok laki-laki yang bernama Hambali pun pernah menyatakan cintanya pada Tuti, tetapi Tuti pun menolak cinta laki-laki itu seperti ia menolak cintanya Supomo, karena ia tidak ingin mempunyai pacar bahkan jika nanti akan menikah, perjuangannya mempertahankan hak-hak wanita dikekang oleh suaminya. Maka Tuti pun s iap tidak menikah sepanjang hidupnya demi memperjuangkan gender perempuan. Ia akan memperjuangkan, bahwa perempuan dalam bidang apapun itu termasuk bidang pekerjaan yang khusus dilakukan laki-laki, perempuan juga bisa mengerjakannya.
Amanat yang terdapat pada novel ini antara lain adalah masalah hak-hak perempuan yang selalu di pidatokan oleh Tuti pada saat kongres berlangsung. Pada masa itu, hak-hak perempuan sudah hilang dan tidak ada harganya, perempuan hanya budak saja bagi laki-laki. Dan pada masa itu, orang tua menyarankan bahwa kita sebagai seorang perempuan tidaklah harus sekolah tinggi-tinggi, karena setelah itu perempuan akan menikah, tinggal diam dirumah, melayani suami, menyiapakan makannya, menyiapkan pakaian kerjanya, dan melahirkan anak serta mengurusnya dirumah. Oleh karena itu, kehidupan dan lingkungan perempuan hanya dirumah dan rumah. Perempuan dianggap lemah, pendidikan budi pekerti perempuan semata-mata ditujukan untuk keperluan laki-laki, segala sifat lemah itulah yang dijadikan laki-laki untuk perempuan menjadi budak dalam kehidupannya. Bahkan Tuti berfikir dia tidak mau menikah seumur hidupnya, jika itu cuma untuk melampiaskan kesepiannya saja menjalani hidup ini dan dia tidak mau menjadi budak seorang laki-laki jika kebebasan perempuan untuk menjadi yang lebih baik ditentang oleh suaminya kelak.  
Jika pandangan Tuti itu terjadi pada perempuan  pada masa globalisasi saat ini, mungkin masih ada beberapa yang menjalani hidupnya demi pekerjaanya dibandingkan menjalani kehidupan menjadi seorang istri yang hanya akan menjadi budak bagi suaminya saja, tapi mungkin ada sebagian perempuan yang malah menentang prinsip hidup Tuti itu. Tetapi menurut saya pribadi, saya tidak terlalu setuju dengan prinsip Tuti itu, karena dalam agama, Allah sudah mempersiapkan jodohnya masing-masing unutk umatNya. Jadi jika ada laki-laki yang sudah menyatakan cintanya kepada kita, cobalah kita terima cintanya itu sepenuh hati dan sebaiknya jika laki-laki itu memang serius mengajak menikah, buatlah komitmen kita sebagai pasangan agar jika nikah nanti suami tidak mengekang kita unntuk tetap bekerja dan membangun lapangan kerja diluar, agar kita tidak hanya tinggal dirumah saja dan pergaulan kita dibatasi. Dan jika ada pepatah dahulu mengatakan ” Seorang perempuan tidak usah sekolah tinggi-tinggi, karena ujungnya pekerjaan perempuan itu hanya di dapur, sumur, kasur”. Dan dalam kenyataannya, memang masih ada orangtua yang menerapkan itu kepada anaknya, sehingga di desa perempuan yang lulusan SD saja sudah ada yang menikah.
Sebaiknya, kita sebagai perempuan jika sudah menikah ikutilah keinginan suami karena suami adalah kepala keluarga. Istri boleh saja bekerja membantu suami untuk menambah penghasilan dalam keluarga, tetapi istri pun harus memilih pekerjaan yang tidak terlalu sibuk, sehingga anak dan suaminya ia terlantarkan. Dan istri jika memang bekerja, ia harus menomor satukan keluarganya, dan kemudian jika pekerjaan istrinya lebih tinggi jabatannya daripada pekerjaan suaminya, istripun harus tetap patuh kepada suami jika sudah dalam rumah. Jadi kesimpulannya, boleh kita mementingkan pekerjaan dulu daripada jodoh, tetapi jika umur kita sudah mapan untuk menikah apa salahnya pekerjaan itu ditunda sebentar dan janganlah mau kita sebagai perempuan harus menjadi perempuan lajang seumur hidup kita karena itu akan merugikan diri kita sendiri.
Amanat selanjutnya yang saya nilai dari novel ini adalah kisah asmara antara Maria dan Yusuf. Jika memang ada pasangan kekasih yang seperti itu, sangat cocok sekali dilihatnya. Maria yang periang, salalu ramah kepasa siapapun, wanita yang suka dengan tanaman termasuk bunga dan ia sangat menyukai pemandangan alam, sedangkan Yusuf yang sangat dewasa bisa ’ngmong’ Maria saat sifat kekanak-kanakannya muncul, ia sangat pengertian dengan kekasihnya, ia juga suka dengan pemandangan. Pokoknya mereka adalah pasangan yang serasi. Tetapi pada akhir cerita, bahwa ternyata Maria masuk rumah sakit karena penyakit TBS yang dideritanya. Saat itu Maria sudah putus asa menjalani hidup sehari –hari dirumah sakit, karena kondisinya semakin hari bukannya semakin baik, malah semakin buruk. Sebagai seorang kekasih, Yusuf pun selalu mendoakan dia supaya Maria bisa sembuh total dan mereka bisa melaksanakan acara pernikahan mereka. Yusuf pun berjanji, jika sekolah kedokterannya selaeai, ia akan memperdalam pengetahuannya tentang penyakit TBS itu, supya ia bisa merawat sendiri kekasihnya ituu dirumah. Yusuf adalah laki-laki yang sangat setia dan pengertian. Tetapi pada akhir cerita, ternyata Maria meninggal dunia dan ia berpesan kepada kakaknya, Tuti, supaya ia menggantikan posisinya sebagai istri Yusuf kelak. Dan dengan permintaan Maria itu, Tuti dan Yusuf langsungmelaksanakan pernikahan mereka berdua.
Maria adalah perempuan yang sangat mulia, sebelum ia dipanggil oleh Yang Maha Kuasa, Maria masih sempat menulis surat kepada kakaknya sebagai amanat ia yang terakhir. Isinya itu ialah Maria ingin jika ia meninggal, Tuti harus menggantikan ia menikah dengan Yusuf karena ia tahu Yusuf adalah laki-laki yang sangat dewasa, baik hati, dan penyayang. Maria ingin Tuti menikah dengan Yusuf, dengan cara seperti itu maka Tuti tidak akan selalu mengurusi organisasinya saja, Mariapun yakin Yusuf tidak akan mengekang kegiatan Tuti jika menikah nanti. Maria akan bahagia jika dua orang yang disayanginya itu bersatu dalam ikatan cinta. Cerita cinta yang sangat mengharu biru!!
Dalam novel ini juga ada yang membahasa tentang filsafat, yang lebih tepatnya adalah filsafat India yang masih berhubungan dengan fenimisme atau emansipasi wanita, sama halnya dalam novel Ziarah. Tetapi ada bedanya pula, jika dalam novel ini filsafatnya hanya dibahas secara seluntas saja saat ada kongres berlangsung, sedangkan dalam novel Ziarah filsafat itu membahas tentang kematian.
Secara keseluruhan isi cerita ini sangatlah bagus. Alur yang ditulis sudah sistematis dimulai dari pengenalan, klimaks, antiklimaks, hingga penyelesaian yang sangat dramatis. Novel ini bisa membawa para pembaca seolah-olah menjadi penonton dalam sebuah drama percintaan yang mengharukan. Kisah ini mengingatkan kita bahwa walaupun pasangan yang sudah berpacaran bertahun-tahun menjalin cinta dan berangan-angan untuk melanjutkannya ke jenjang pernikahan, tetapi jika Sang Maha Penguasa berkehendak lain telah menakdirkannya dengan yang mana ia akan menjadi pendamping hidup kita dikala kita suka maupun duka, kita harus menerimanya dengan ikhlas.






DAFTAR PUSTAKA

·                     http://id.wikipedia.org/wiki/Sutan_Takdir_Alisjahban
·                     http://www.anneahira.com/ringkasan-layar-terkembang.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar