Rabu, 21 Maret 2012

Apresiasi novel SAMAN karya Ayu Utami


KARYA
MIMIN MINTARI
2222090200
DIKSATRASIA 3A


Budaya barat masuk ke Indonesia semenjak zaman penjajahan. Semenjak itulah budaya barat memulai perkembangannya di Indonesia. Pada mulanya, budaya ini belum mempengaruhi semua lapisan masyarakat, karena pada saat itu berlaku sistem kasta yang tidak memungkinkan kalangan masyarakat bawah untuk mengadopsi budaya ini (Matroji, 2006 : 122 ).
Budaya barat yang mendominasi pada saat itu ialah penggunaan bahasa, cara berpakaian, dan tata krama. Hal ini bisa dilihat dari penggunaan bahasa Belanda sebagai pengantar di sekolah-sekolah kalangan atas. Cara berpakaian seperti pakaian Belanda, dengan topi, tongkat, dan gaun, juga pergaulan pria dan wanita yang lebih terbuka. Misalnya, pria dan wanita yang berbicara berdua dianggap tabu sebelumnya, tapi kemudian dianggap biasa oleh masyarakat, wanita-wanita yang dulunya hanya mengenakan kebaya dan baju kurung mulai mengenakan pakaian yang lebih modis dan terbuka. Setelah Indonesia merdeka, perkembangan budaya barat mulai merata ke seluruh lapisan masyarakat. Sejak itu, budaya barat berkembang dengan cepat di Indonesia. Walaupun bahasa Belanda telah ditukar dengan bahasa Indonesia ketika zaman pendudukan Jepang ( Matroji, 2006 : 162 ), dalam bidang lain pengaruh budaya barat semakin kuat.
Saat ini pengaruh budaya barat tidak hanya sebatas cara berpakaian, pergaulan, tapi juga di bidang pendidikan dan gaya hidup. Subjek yang paling terpengaruh adalah remaja. Bahkan bagi sebagian remaja, gaya hidup barat merupakan suatu kewajiban dalam pergaulan. Banyak faktor yang menyebabkan remaja sangat mudah menyerap budaya barat. Budaya Barat berkembang dengan sangat pesat di Indonesia. Perkembangannya tidak hanya terjadi di kota-kota besar, namun telah merambah ke kota-kota kecil, bahkan ke desa-desa. Tanpa disadari, masyarakat telah memadukan budaya Barat dengan budaya Timur dalam aspek kehidupan mereka.
Faktor yang mempengaruhi perkembangan budaya Barat yaitu ada 2, antara lain faktor internal dan faktor eksternal. Dari faktor internal sendiri yaitu faktor yang berasal dalam diri anak remaja itu, karena saat masa-masa puber dikalangan anak muda mereka selalu memiliki rasa ingin tahu dan rasa penasaran yang sangat tinggi. Contohnya, ketika berkembang budaya “clubbing” di kota-kota besar, sebagian besar remaja merasa tertarik untuk mencoba, sehingga ketika sudah merasakan kelebihannya, perbuatan itu terus dilakukan. Tentu saja hal ini tidak terlepas dari peran keluarga dalam membimbing remaja dalam menjalani masa yang sangat sulit ini. Kemudian faktor yang berikutnya adalah faktor internal yang berasal dari dalam keluarga, kondisi lingkungan, pergaulan, perkembangan teknologi dan media massa. Tanpa disadari bahwa keluarga itu sangat penting dalam pergaulan anak-anaknya. Orang tua harus bekerja secara ekstra supaya anak remajanya tidak terjerumus dalam kehidupan budaya Barat. 

Itulah penjelasan tentang pergaulan budaya Barat yang banyak sekali terjadi di kalangan remaja di negeri ini, khususnya di Indonesia sendiri. Pergaulan gaya remaja ala budaya Barat sangat berkaitan sekali dalam novel Saman karya Ayu Utami. Novel Saman ini lahir dengan bantuan teman-temannya yang membantu riset dan melalui wawancara dirinya. Ia juga sampai mencari informasi tentang kehidupan di Amerika melalui teman-temannya. Ayu Utami adalah seorang penulis novel yang lahir di Bogor, 21 November 1968. ia pernah menjadi wartawan di Matra, Forum Keadilan, dan D&R. kini ia bekerja di jurnal kebudayaan Kalam dan di Teater Utan Kayu. Karena karyanya dianggap meluaskan batas penulisan dalam masyarakatnya, maka ia mendapat Prince Claus Award pada tahun 2000. Novel Saman adalah pemenang sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta tahun 1998. ketika pertama kali terbit, Saman dibayangkan sebagai fragmen dari novel pertama Ayu Utami yang akan berjudul Laila Tak Mampir di New York. Dalam proses pengerjaan, beberapa sub plot melampaui rencana. Maka tahun 2001 lanjutan novel Saman terbit dengan judul yang berbeda, yaitu Larung. Hingga pertengahan 2008 Saman telah diterjemahkan dalam enam bahasa asing, yaitu Inggris, Belanda, Jerman, Jepang, Prancis, dan Czech.

Novel Ayu Utami yang akan saya apresiasikan sekarang ini adalah Saman. Dalam novel Saman ini diceritakan empat perempuan yang sudah bersahabat sejak kecil. Yaitu Shakuntala si pemberontak, Cok si binal, Yasmin si jaim, dan Laila si lugu. Empat perempuan itu, penulis menjelaskan mereka membicarakan moral. Semua tokoh perempuan dalam novel ini  mereka yang mempersetankan lembaga perkawinan. Dan itu sah saja. Perkawinan tidak lagi menjadi sesuatu yang sakral, melainkan lebih dianggap sebagai bentuk pelestarian budaya patriarkal. Jangankan perkawinan, keperawanan pun sudah dianggap basi. Dalam arti, apakah seorang perempuan itu perawan atau tidak, sama tidak ada artinya dengan apakah seorang lelaki perjaka atau tidak sebelum menikah. Pendobrakan nilai-nilai seperti inilah yang lantang disuarakan Ayu Utami dalam Saman dan Larung. Termasuk di dalamnya pendobrakan terhadap nilai-nilai moral yang dianut oleh sebagian masyarakat Indonesia. Karena gagasan utama yang hendak dibangun Ayu Utami adalah meruntuhkan lembaga perkawinan, maka tidak ada satu tokoh pun yang memperlihatkan seorang perempuan yang berbahagia. Mereka memperlihatkan perempuan-perempuan yang gelisah dalam hidup bermasyarakat, tepatnya kegelisahan seksual. Ayu Utami mengakui bahwa tema novel Saman dan Larung adalah mengenai seksualitas. Ia pun mengakui bahwa seksualitas adalah problem perempuan. Kegelisahan seksual itu melekat pada keempat tokoh perempuan yang bersahabat sejak kecil itu.

Diceritakan tokoh-tokoh perempuan dalam novel Saman itu, yaitu  Laila adalah seorang fotografer yang jatuh cinta pada Sihar Situmorang, seorang insinyur perminyakan yang bekerja di rig. Meskipun Laila tahu bahwa Sihar sudah beristri, namun hasratnya untuk bercumbu dengannya terus membayangi. Bahkan ketika Sihar berangkat ke Amerika Serikat (New York), Laila berusaha melakukan hubungan seksual itu. Berbeda perasaannya ketika berada di Indonesia, ketika berada di New York, Laila merasakan atmosfir yang lain, bahwa di kota itu orang-orang tidak memedulikan apakah seseorang masih perawan atau tidak, apakah seorang perempuan menikah atau tidak. Shakuntala adalah seorang penari profesional yang memperdalam ilmunya di New York. Ia bisa memerankan Sita dan Rahwana sekaligus dengan bertelanjang dada. Ia merasa bahwa dalam dirinya ada sisi perempuan dan sisi laki-laki. Ia seorang biseks. Sejak kecil, ia sudah membenci ayahnya, karena ayahnya sering menghambat ruang geraknya. Dan ketika melihat Laila sedih karena gagal kencan dengan Sihar, Tala menghiburnya dengan mengajak menari tango, sebuah tarian dengan gerakan-gerakan angkuh. Saat menari itulah kelelakian Tala tumbuh dan ia mengajak Laila tidur. Yasmin, yang sudah bersuamikan Lukas Hadi Prasetyo, berselingkuh dengan seorang pastor, Wis, panggilan Athanasius Wisanggeni, yang berganti nama menjadi Saman saat berada dalam status buronan. Wis menjadi buronan karena saat ia diperintahkan oleh ayahnya untuk menjadi seorang pastor, tetapi ia malah memilih untuk meninggalkan panggilan imamatnya itu demi menjadi aktivis diantara kaum miskin. Maka ia menjadi buronan dan ia melarikan diri ke New York. Saat Saman akan dilarikan ke Amerika , Yasmin dan Saman melakukan hubungan seksual saat mereka  berada di Pekanbaru,. Hubungan Yasmin yang memperjakai Saman  itu berlanjut walaupun ia sudah tinggal di Amerika dengan cara melalui surat elektronika (email) yang mampu membuat Yasmin orgasme membaca surat-surat Saman. Tetapi hubungan itu semakin nyata ketika Yasmin menyusul Saman ke New York. Sementara Cok adalah perempuan yang sejak duduk di bangku SMA  sudah menganut aliran freesex. Ia bahkan pernah dipindahkan ke SMU di Bali gara-gara orangtuanya menemukan kondom di tas sekolahnya. Di Bali, justru petualangan seksnya semakin menjadi-jadi hingga menginjak dewasa. Ia tidur dengan banyak lelaki, di antaranya dengan menjadi simpanan pejabat militer. Dengan pejabat militer itulah ia mendapat berbagai fasilitas usaha, sehingga menjadi pengusaha yang banyak duitnya. Saman yang memilih hidup selibat justru merangsang Yasmin untuk segera memperjakainya.

Dalam novel Saman karya Ayu Utami ini, banyak sekali amanat yang ingin disampaikan penulis untuk pembacanya. Salah satunya adalah masalah moral. Di dalam novel ini moral sama sekali tidak ada harganya. Tokok-tokoh yang ada di novel ini seakan-akan mereka tidak memiliki moral yang tinggi, sehingga tokoh-tokoh, terutama tokoh perempuannya mereka melakukan hubungan seks dengan lelaki yang bukan suaminya. Mereka menganggap bahwa jika kita ingin melakukan hubungan seks itu boleh dengan siapa saja tanpa ada ikatan pernikahan diantara mereka. Maka dalam akhir cerita pun tidak ada tokoh-tokohnya itu yang hidup bahagia.

Selain membicarakan masalah moral, novel ini ternyata membuka tabir bahwa pergaulan di negeri ini sudah banyak sekali yang menggunakan cara pergaulan ala orang Barat. Contohnya, pada tokoh Laila diceritakan bahwa ia merasa tidak nyaman tingal di Indonesia yang identiknya khas sekali dengan gaya hidup orang Timur, yang segalanya harus dengan aturan atau norma-norma. Ia merasa hubungan seksnya yang ia lakukan dengan Selingkuhannya itu tidak puas, tetapi saat ia menyusul Sihar, lelaki selingkuhannya ke Amerika, hasrat ingin bercumbu itu sangat besar karena di Amerika sana tidak ada larangan atau undang-undang yang mengatur jika ingin melakukan hubungan seks itu harus dengan pasangan sahnya, maka ia sangat senang sekali jika tinggal di Amerika. Pergaulan di Amerika sangat bebas, penduduk disana tidak mempermasalahkan jika ada orang yang berciuman di tengah jalan pun. Novel Saman juga menceritakan sebuah perselingkuhan yang dilakukan oleh tokoh Yasmin yang berselingkuh dengan Saman. Walaupun Yasmin sudah menikah dengan Lukas, tetapi ia ingin melakukan hasrat bercumbunya itu dengan Saman, karena ia juga cinta pada pandangan pertama kepada Saman. Singkat cerita, bahwa betapa tidak berharganya sebuah perkawinan jika pasangan kita membagi hubungan seksnya itu dengan lelaki lain.  

Dalam pergaulan remaja barat, hampir tidak ada “batasan” antara pria dan wanita. Pacaran yang kemudian dilanjutkan dengan pelukan, ciuman, bahkan hubungan badan merupakan hal yang biasa. Dengan adanya pengaruh dari media yang sangat kuat, pergaulan bebas mulai marak dikalangan generasi muda Indonesia. Ironisnya budaya ini telah berkembang hingga kekota yang dikenal dengan julukan “kota pelajar”.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Studi Cinta dan Kemanusiaan serta Pusat Penelitian Bisnis dan Humaniora (LSCK PUSBIH) selama 3 tahun, mulai Juli 1999 hingga Juli 2002, dengan melibatkan sekitar 1.660 responden dari 16 Perguruan tinggi negeri dan swasta di Yogyakarta, diperoleh data bahwa 97,05 % mahasiswinya sudah kehilangan keperawanannya saat kuliah. ( Solihin , 2003 : 39). Selain karena adanya dukungan media, hal ini juga disebabkan oleh suasana kos yang mendukung di Yogyakarta, yaitu tidak adanya kontrol oleh pemilik kos. Hal ini merupakan sebuah peringatan keras bagi bangsa Indonesia untuk memperbaiki kondisi generasi muda.

Pada zaman sekarang, perkembangan pergaulan gaya budaya Barat, mulai dari cara berpakaian, cara berbicara, bahkan cara tata kramanya banyak sekali sudah meracuni budaya Timur, seperti di Indonesia. Contohnya jika kita melihat pergaulan di Bali, anak-anak muda disana cara berpakaiannya tidak ada bedanya dengan orang asing karena di Bali mayoritas banyak turis yang berlibur kesana, jadi masyarakatnya sendiri terbawa arus pergaulan budaya Barat. 

Setelah saya membaca novel Saman karya Ayu Utami ini, sekarang saya bisa tahu dan sadar bahwa keluarga berperan sangat penting dalam membimbing anak untuk menentukan mana yang baik atau tidak untuk dilakukan. Orang tua memegang peranan utama didalam sebuah keluarga. Segala tindakanya akan berpengaruh besar terhadap perkembangan fisik dan psikis anak. Selain keluarga yang menjadi salah satu cara untuk mencegah pergaulan bebas terhadap anak, orang tuapun harus menganggap anak itu sebagai teman dekat supaya anak tidak canggung untuk bercerita tentang teman-teman yang ada disekitarnya.  

Jika sudah terjadi pergaulan bebas diantara generasi muda sekarang, maka siapa yang akan disalahkan? Apakah wanita sendiri yang harus dijadikan “racun dunia” sehingga banyak lelaki yang tergoda dengan cara berpakaian wanita zaman sekarang yang terbuka sehingga banyak lelaki yang selingkuh? Atau apakah lelaki yang harus disalahkan sehingga banyak remaja yang tidak perawan lagi karena nafsu birahi lelaki? Atau kita harus menyalahkan sistem pergaulan budaya Barat yang sudah terlanjut menyebar kepada penduduk Indonesia? Menurut saya sebenarnya tidak ada yang salah antara lelaki dan perempuan atau bahkan budaya Barat itu sendiri. Misalnya walaupun lelaki yang alim tetapi imannya tidak kuat melihat perempuan yang berpakaian seksi, maka ia akan berfikir negatif terhadap hal itu. Dan sebaliknya, jika perempuannya yang alim tetapi ia memiliki iman yang kuat dan ia memiliki pasangan yang seksualitasnya tinggi, maka perempuan itu akan terjerumus dalam dunia pergaulan bebas.
Maka, pada dasarnya jika kita tidak ingin terjerumus dalam pergaulan remaja budaya Barat, sebaiknya kita tanamkan dalm diri kita sendiri iman yang kuat, kita harus gunakan pergaulan budaya Barat dalam sisi positifnya saja, seperti menggunakan bahasa asing yang baik, menggunakan jalur komunikasi dan informasinya melalui televisi, internet, telepon selular. Dan jangan lupa, kita sebagai generasi muda bangsa Indonesia, maka kita jangan pernah tinggalkan sejarah-sejarah dan selalu menggunakan pergaulan seperti layaknya pergaulan ala bangsa Timur, kita harus memiliki moral yang tinggi, memiliki tata krama yang sopan, menggunakan pakaian sopan dalam bergaul supaya kita tidak terjerumus dalam kehidupan yang ‘glamor’, penuh hura-hura seperti kehidupan budaya Barat.





DAFTAR PUSTAKA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar