KARYA
MIMIN MINTARI
2222090200
DIKSATRASIA 3A
Bernama lengkap Iwan Maratua
Dongan Simatupang, dilahirkan di Sibolga,
Sumatera Utara, 18 Januari 1928. Masuk Fakultas Kedokteran di Surabaya pada tahun 1953. Kemudian, akhir 1954 dia menuju Amsterdam, Belanda untuk belajar atas
beasiswa Sticusa (Stichting voor Culturele Samenwerking), bidang antropologi di Fakulteit der
Letteren, Rijksuniversiteit,
Leiden, lalu masuk jurusan Filsafat
Barat Universitas Sorbonne,
Paris, Perancis.
Ketika di Belanda, sejak
1955 sampai 1958, Iwan giat menulis di
majalah Gajah Mada, terbitan Yogyakarta. Artikelnya
mencakup esai sastra, drama, film, seni rupa, juga ihwal
kebudayaan pada umumnya. Selama studi Antropologi dan Sosiologi di
Amsterdam, Iwan pun mengarang
drama. Tahun 1957 lahir dramanya berjudul Buah Delima dan Bulan Bujur
Sangkar. Tahun berikutnya, dia tulis drama Taman. Saat diterbitkan drama itu diberi judul Petang
di Taman.
Iwan pernah menjadi guru, wartawan, pengarang cerpen dan puisi,
selain menulis esai, drama dan novel. Puisinya pertamanya dipublikasikan berjudul Ada Dukacarita di Gurun, dimuat majalah Siasat edisi 6 Juli 1952. Sajaknya yang lain adalah Ada Dewa Kematian Tuhan, Apa kata Bintang
di Laut, dan Ada
Tengkorak Terdampar di Pulau Karang.
Puisi-puisi itu dimuat di majalah
Siasat Baru edisi 30 Desember 1959. Selanjutnya, judul-judul cerpen Iwan adalah
Monolog Simpang
Jalan, Tanggapan Merah Jambu tentang
Revolusi, Kereta Api Lewat di
JauhaI, Patates Frites, Tunggu Aku di Pojok
Jalan Itu, Tegak Lurus dengan
Langit, Tak Semua Tanya Punya Jawab dan lain-lain. kritikus sastra menyebut karyanya sebagai avant garde terhadap buah pena Iwan.
Iwan sendiri menyebut dirinya manusia marjinal, manusia perbatasan. Dalam novelnya Ziarah, Merahnya Merah, Kering dan
Koong,
juga pada drama-dramanya, Petang di Taman, RT 0 RW 0,
maupun Kaktus dan Kemerdekaan, begitu pula dalam cerpen-cerpennya, para tokohnya terkesan
berkelakuan aneh, tidak rasional.
Iwan mendapat hadiah penghargaan untuk cerita pendeknya dalam Erwin Gastilla di
Filipina, dan hadiah untuk karya nonfiksi
dari Mrs. Judi Lee dari Singapura. Tokoh-tokoh dalam cerita Iwan
adalah manusia terpencil, kesepian, terasing, dilanda tragedi, perenung, dan cenderung murung.
Tokoh-tokoh dalam karyanya menurut Iwan sendiri adalah
manusia perbatasan, manusia eksistensialisme. Makanya, ada beberapa
kalangan penikmat karya-karya Iwan, menilai karangan-karangan Iwan sulit dicerna.
Karangan-karangan Iwan bertokoh manusia-manusia yang tidak masuk akal
atau manusia aneh. Dalam drama Petang di Taman yang liris puitis, misalnya,
tokoh-tokohnya seperti berkata pada dirinya
sendiri, berfilsafat, dan putus komunikasi
dengan orang lain, atau lingkungannya. Tapi, disinilah kekhasan karya Iwan, yang membedakannya dengan karya-karya para pendahulunya.
Novel karya
Iwan Simatupang yang akan saya apresiasikan adalah novel yang berjudul Ziarah. Ziarah disini saat saya liat
dari cover bukunya, saya kira cerita seseorang yang ziarah ke kuburan istrinya
yang sudah meninggaal, atau saya kira tentang ziarah-menziarahi ketika hari
raya. Ternyata itu semua tidak ada hubungnnya saat saya selesai membaca
novelnya itu. Ziarah di sini ialah tentang ziarah perkuburan. Tentang seorang
lelaki berbakat besar yang hilang arah dan punca setelah kematian isterinya.
Isteri yang dinikahinya secara tidak sengaja, tertimpa ketika cobaan membunuh
diri.
Seperti para
penikmat karya-karya Iwan, saya pun mengalaminya bahwa salah satu novel Ziarah karya Iwan Simatupang ini pun
susah untuk dipahaminya. Untuk menganalisis novel ini, sebaiknya kita baca
berulang-ulang, karena kata-katanya yang sulit unutk dicerna. Dalam novel Ziarah ini, penulis tidak mencantumkan
nama tokoh-tokohnya, jadi untuk saya pribadi saat saya baca novel ini terasa
bingung untuk mengingat tokoh yang satu dengan tokoh yang lainnya, novel ini
juga menggunakan alur flashback atau alur campuran yang membuat saya binggung
unutk mengapresiasikannya. Dalam novel ini diceritakan seorang mantan pelukis
yang sangat kaya raya, yang banyak dikagumi diseluruh kota maupun seluruh negara. Tetapi tidak tahu
sebabnya apa, si pelukis itu menjadi stress, sampai saat istrinya meninggalpun
ia tidak tahu. Ia malah tahu bahwa istrinya itu meninggal dari orang lain. Setiap
malam, perutnya dituangi oleh arak penuh-penuh, memanggil Tuhan keras-keras,
kemudian meneriakkan nama istrinya keras-keras, menangis keras-keras. Tapi dia
sendiri malah tidak mau melihat istrinya yang sudah jadi mayat itu.
Dalam novel ini
diceritakan bahwa seorang pelukis itu diberi uang sangat banyak sekali oleh seorang
wanita yang ingin membeli lukisannya itu. Ia bingung harus dibagaimanakan uang
sebanyak itu, sdangkan ia sudah tidak punya apa-apa, istrinya yang ia sanyang
sudah meninggal. Dari mulai ia ikut taruhan, ia berjudi, berharap ia kalah
supaya uangnya itu habis tetapi kemenangan berpihak padanya, ia pun menang dan
uang itu semakin bertambah banyak. Bahakan nafsu menembak dan bertaruhnya
semakin tak kenal batas, sampai-sampai kepada jenis kelamin bayi yang akan
dilahirkan oleh ratu dari suatu negarapun, ia ikut menebak, tetap ia menang!.
Saat bekas
pelukis yang berbakat itu dinilai oleh warga sebagai orang yang memiliki sifat
dan sikap yang begitu aneh, datanglah seorang opseter menawarinya pekerjaan
sebagai pekerja yang bertugas mengapur seluruh tembok luar pekuburan kotapraja
yang ada dibawah pengawasannya itu.Tiga hari sudah ia bekerja mengapur luar
tembok pekuburan kotapraja, menjelang benamnya matahari, dia berhenti bekerja,
membenahkan alat-alatnya, menagih upahnya, pergi tenang sambil bersiul-siul ke
kedai arak. Dan menurut berita orang-orang di situ, sedikitpun tingkah-lakunya
tak menunjukkan keanehan apa-apa – yang sendiri sebenarnya sudah merupakan
keanehan tersendiri. Sebelum dia memborong pekerjaan mengapur tembok-tembok
luar perkuburan itu, orang-orang di kedai sudah biasa dengan tingkah anehnya.
Kini dia menjadi perhatian umum, perbincangan seluruh kota. Dengan was-was mereka mengamati
tingkahnya yang sudah tidak aneh lagi itu. Seolah-olah ketidak anehan adalah
sendiri keanehan.
Bekas pelukis itu
menikah dengan gadis cantik. Pernikahan merekapun tidak disengaja, karena pada
saat bekas pelukis itu berniat untuk bunuh diri, wanita itu tertindih badan
bekas pelukis itu saat itu loncat dari lantai atas sebuah hotel. Kehidupan saat
ia bersama istrinya yang waktu itu masih hidup dan mereka tinggal bersama,
mereka adalah keluarga yang sangt harmonis, tetapi pada suatu saat titik balik
hidup mewah dan bahagia bekas pelukis itu
pada saat akan berbulan madu, tidak ada losmen, hotel, mnumpang tidur
dibawah jembatan, atau tidur dikaki lima sekalipun, gelandangan tidak mau
menerima mereka. Itu semua disebabkan karena saat resepsi pernikahan bekas
pelukis itu banyak sekali karangan bunga yang dikirim dari berbagai Negara,
jadi seluruh kota disitu semuanya diutupi oleh karangan bunga dan para
pedagangan dagingpun baru bisa berdagang saat seminggu kemudian, mereka merasa
terganggu dengan banyaknya bunga-bunga itu maka mereka tidak bisa berjulan, dan
wargapun berdemonstrasi kerumah walikota, dan mereka menggunakan slogan : Nyahkan pelukis itu!
Susah sekali menjelaskan lebih
terperinci jalannya cerita dalam novel ini, dikarenakan bahasanya yang sangat
rumit untuk dimengerti dan jalan ceritanya pun bolak-balik serta tidak adanya
nama-nama tokoh. Tetapi akhir cerita pada novel ini adalah saat opseter itu
meninggal karena punuh diri, maka bekas pelukis, bekas pengapur itu langsung
melamar untuk menjadi opseter dipekuburan itu, karena ia sadar ia tidak pernah
sekalipun menziarahi kuburan istrinya, waluoun ia juga tidak tahu kuburan
istrinya itu yang mana. Dengan ia bekerja sebagai opseter, maka ia akan selalu
dekat dengan istrinya walaupun hanya dekat dekat dengan kuburannya saja.
Amanat yang
saya dapatkan setelah membaca novel Ziarah karya Iwan Simatupang adalah dari
segi tentang kematian. Dalam novel ini kematian seseorang yang akan dikuburkan
adalah masalah yang rumit dan ribet sekali. Jika ada jenazah yang akan
dimakamkan, maka ia harus mengisi formulir terlebih dahulu dan segala macam hal
lainnya. Seperti dalam kisah novel ini, saat istri bekas pelukis itu meninggal
dan jenazahnya akan dimakamkan, harus melalui proses yang berkepanjangan
terlebih dahulu. Bekas pelukis itu berpendapat, jika caranya seperti itu, maka
sama saja mereka menyiksa dua kali penderitaan mayat tersebut. kita lihat pada
zaman sekarang, contohnya pekuburan dikota Jakarta, setiap ada jenazah yang
akan dimakamkan itu harus membeli tanah kuburannya terlebih dahulu, dan itu
harus dengan biaya yang sangat besar sekali dan kuburan itu akan permanen ada,
dan tidak akan dibongkar meski usia kuburan itu sudah berusia 50 tahunan.
Berbeda dengan pekuburan yang ada didesa, walaupun ada jenazah yang akan
dimakamkan, pihak keluarga tidak usah membeli tanah kuburannya dulu, cukup
dengan memberikan uang seikhlasnya untuk tukang yang ikut menguburkan jenazah
itu saja.
Amanat
berikutnya adalah dalam hal rasa bersyukur kepada Tuhan. Dalam tokoh bekas
pelukis itu, dapat kita lihat bahwa dia sangat tidak brsyukur dengan rezeki
yang diberikan Tuhan kepadanya. Tuhan memberikan ia uang yang banyak, tetapi
dia ingin uang itu habis dengan tidak menggunakannya dengan hal yang berguna,
seperti ia menolong orang yang kekurangan mampu, memberikannya kepada yang
lebih berhak atau hal yang lainnya. Didalam novel ini, bekas pelukis itu malah
berniat menghabiskan uang sebanyak itu
dengan ikut taruhan yang tidak penting,
berjudi siang malam, ikut tebak menebak jenis kelamin bayi yang akan dilahirkan
oleh ratu suatu negara sekalipun, sampai
ia berganti-ganti hotel supaya uang itu habis tetapi kemenangan selalu berpihak
kepada dia, maka walaupun berbagai cara ia lakukan untuk menghabiskan uang itu,
uang itu malah bertambah banyak. Jadi, sekecil apapun, dalam bentuk apapun jika
itu adalah rezeki dari Tuhan yang diberikan untuk kita, kita harus menerimanya
dan mensyukurinya karena Tuhan itu menguji umatnya saat umatnya itu diberikan
rezeki yang melimpah. Tuhan itu ingin tahu apakah rezeki yang diberikanNya itu
dipergunakan dengan baik atau sebaliknya.
Novel ini juga,
bisa kita nilai dari segi pendidikannya. Diceritakan pada tokoh opseter pekuburan
kotapraja itu, ternyata dia adalah semasa sekolahnya salah satu murid yang
sangat pandai, kecerdasan otaknya bukan saja dari jenis yang cepat dapat
menangkap sesuatu, tapi juga cepat menciptakan sesuatu hal yang baru. Semua hal
ini diketahui pada saat opseter itu bunuh diri ditempat rumah dinasnya. Opseter
itu tidak melanjutkan sekolahnya sampai selesai demi untuk menjadi seorak
opseter disebuah pekuburan dikotapraja itu, dan saya tidak terlalu paham alasan
dia memilih menjadi seorang opseter dibanding melanjutkan sekolahnya. Jika kita
pikir secara logika, apakah ada dikehidupan nyata jika seseorang yang sangat
pandai rela meninggalkan pendidikannya hanya ingin bekerja seorang opseter yang
pekerjaanya mengurusi pekuburan. Jika memang ada, seharusnya hal itu jangan
dilakukan, karena bagaimanapun pendidikan itu harus di nomor satukan. Jika
pendidikan nya sudah dijalaninya hingga selesai, kemudian mendapatkan ijazah,
maka kita pun akan mudah untuk mendapatkan pekerjaan yang kita inginkan,
asalkan ada usaha dan doa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar