KARYA
MIMIN MINTARI
2222090200
DIKSATRASIA 3A
Budaya barat masuk ke Indonesia
semenjak zaman penjajahan. Semenjak itulah budaya barat memulai perkembangannya
di Indonesia.
Pada mulanya, budaya ini belum mempengaruhi semua lapisan masyarakat, karena
pada saat itu berlaku sistem kasta yang tidak memungkinkan kalangan masyarakat
bawah untuk mengadopsi budaya ini (Matroji, 2006 : 122 ).
Budaya barat yang
mendominasi pada saat itu ialah penggunaan bahasa, cara berpakaian, dan tata
krama. Hal ini bisa dilihat dari penggunaan bahasa Belanda sebagai pengantar di
sekolah-sekolah kalangan atas. Cara berpakaian seperti pakaian Belanda, dengan
topi, tongkat, dan gaun, juga pergaulan pria dan wanita yang lebih terbuka.
Misalnya, pria dan wanita yang berbicara berdua dianggap tabu sebelumnya, tapi
kemudian dianggap biasa oleh masyarakat, wanita-wanita yang dulunya hanya
mengenakan kebaya dan baju kurung mulai mengenakan pakaian yang lebih modis dan
terbuka. Setelah Indonesia
merdeka, perkembangan budaya barat mulai merata ke seluruh lapisan masyarakat.
Sejak itu, budaya barat berkembang dengan cepat di Indonesia. Walaupun bahasa Belanda
telah ditukar dengan bahasa Indonesia ketika zaman pendudukan Jepang ( Matroji,
2006 : 162 ), dalam bidang lain pengaruh budaya barat semakin kuat.
Saat ini pengaruh budaya
barat tidak hanya sebatas cara berpakaian, pergaulan, tapi juga di bidang
pendidikan dan gaya
hidup. Subjek yang paling terpengaruh adalah remaja. Bahkan bagi sebagian
remaja, gaya
hidup barat merupakan suatu kewajiban dalam pergaulan. Banyak faktor yang
menyebabkan remaja sangat mudah menyerap budaya barat. Budaya Barat berkembang
dengan sangat pesat di Indonesia.
Perkembangannya tidak hanya terjadi di kota-kota besar, namun telah merambah ke
kota-kota kecil, bahkan ke desa-desa. Tanpa disadari, masyarakat telah
memadukan budaya Barat dengan budaya Timur dalam aspek kehidupan mereka.
Faktor yang mempengaruhi
perkembangan budaya Barat yaitu ada 2, antara lain faktor internal dan faktor
eksternal. Dari faktor internal sendiri yaitu faktor yang berasal dalam diri
anak remaja itu, karena saat masa-masa puber dikalangan anak muda mereka selalu
memiliki rasa ingin tahu dan rasa penasaran yang sangat tinggi. Contohnya, ketika
berkembang budaya “clubbing” di kota-kota besar, sebagian besar remaja merasa
tertarik untuk mencoba, sehingga ketika sudah merasakan kelebihannya, perbuatan
itu terus dilakukan. Tentu saja hal ini tidak terlepas dari peran keluarga
dalam membimbing remaja dalam menjalani masa yang sangat sulit ini. Kemudian faktor
yang berikutnya adalah faktor internal yang berasal dari dalam keluarga, kondisi
lingkungan, pergaulan, perkembangan teknologi dan media massa. Tanpa disadari bahwa keluarga itu
sangat penting dalam pergaulan anak-anaknya. Orang tua harus bekerja secara ekstra
supaya anak remajanya tidak terjerumus dalam kehidupan budaya Barat.
Itulah penjelasan tentang pergaulan budaya Barat yang
banyak sekali terjadi di kalangan remaja di negeri ini, khususnya di Indonesia
sendiri. Pergaulan gaya
remaja ala budaya Barat sangat berkaitan sekali dalam novel Saman karya Ayu Utami. Novel Saman ini lahir dengan bantuan
teman-temannya yang membantu riset dan melalui wawancara dirinya. Ia juga
sampai mencari informasi tentang kehidupan di Amerika melalui teman-temannya. Ayu
Utami adalah seorang penulis novel yang lahir di Bogor, 21 November 1968. ia
pernah menjadi wartawan di Matra, Forum Keadilan, dan D&R. kini ia bekerja di jurnal kebudayaan Kalam dan di Teater Utan Kayu.
Karena karyanya dianggap meluaskan batas penulisan dalam masyarakatnya, maka ia
mendapat Prince Claus Award pada
tahun 2000. Novel Saman adalah
pemenang sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta tahun 1998. ketika pertama kali
terbit, Saman dibayangkan sebagai
fragmen dari novel pertama Ayu Utami yang akan berjudul Laila Tak Mampir di New York.
Dalam proses pengerjaan, beberapa sub plot melampaui rencana. Maka tahun 2001
lanjutan novel Saman terbit dengan
judul yang berbeda, yaitu Larung.
Hingga pertengahan 2008 Saman telah
diterjemahkan dalam enam bahasa asing, yaitu Inggris, Belanda, Jerman, Jepang,
Prancis, dan Czech.
Novel Ayu Utami yang akan saya apresiasikan sekarang ini
adalah Saman. Dalam novel Saman ini diceritakan empat perempuan
yang sudah bersahabat sejak kecil. Yaitu Shakuntala si pemberontak, Cok si binal,
Yasmin si jaim, dan Laila si lugu. Empat perempuan itu, penulis menjelaskan
mereka membicarakan moral. Semua tokoh perempuan dalam novel ini mereka yang mempersetankan lembaga perkawinan.
Dan itu sah saja. Perkawinan tidak lagi menjadi sesuatu yang sakral, melainkan
lebih dianggap sebagai bentuk pelestarian budaya patriarkal. Jangankan
perkawinan, keperawanan pun sudah dianggap basi. Dalam arti, apakah seorang
perempuan itu perawan atau tidak, sama tidak ada artinya dengan apakah seorang
lelaki perjaka atau tidak sebelum menikah. Pendobrakan nilai-nilai seperti
inilah yang lantang disuarakan Ayu Utami dalam Saman dan Larung.
Termasuk di dalamnya pendobrakan terhadap nilai-nilai moral yang dianut oleh
sebagian masyarakat Indonesia.
Karena gagasan utama yang hendak dibangun Ayu Utami adalah meruntuhkan lembaga
perkawinan, maka tidak ada satu tokoh pun yang memperlihatkan seorang perempuan
yang berbahagia. Mereka memperlihatkan perempuan-perempuan yang gelisah dalam
hidup bermasyarakat, tepatnya kegelisahan seksual. Ayu Utami mengakui bahwa
tema novel Saman dan Larung adalah mengenai seksualitas. Ia
pun mengakui bahwa seksualitas adalah problem perempuan. Kegelisahan seksual
itu melekat pada keempat tokoh perempuan yang bersahabat sejak kecil itu.
Diceritakan tokoh-tokoh perempuan dalam novel Saman itu,
yaitu Laila adalah seorang fotografer
yang jatuh cinta pada Sihar Situmorang, seorang insinyur perminyakan yang
bekerja di rig. Meskipun Laila tahu bahwa Sihar sudah beristri, namun hasratnya
untuk bercumbu dengannya terus membayangi. Bahkan ketika Sihar berangkat ke
Amerika Serikat (New York),
Laila berusaha melakukan hubungan seksual itu. Berbeda perasaannya ketika
berada di Indonesia, ketika
berada di New York, Laila merasakan atmosfir
yang lain, bahwa di kota
itu orang-orang tidak memedulikan apakah seseorang masih perawan atau tidak,
apakah seorang perempuan menikah atau tidak. Shakuntala adalah seorang penari
profesional yang memperdalam ilmunya di New
York. Ia bisa memerankan Sita dan Rahwana sekaligus
dengan bertelanjang dada. Ia merasa bahwa dalam dirinya ada sisi perempuan dan
sisi laki-laki. Ia seorang biseks. Sejak kecil, ia sudah membenci ayahnya,
karena ayahnya sering menghambat ruang geraknya. Dan ketika melihat Laila sedih
karena gagal kencan dengan Sihar, Tala menghiburnya dengan mengajak menari
tango, sebuah tarian dengan gerakan-gerakan angkuh. Saat menari itulah
kelelakian Tala tumbuh dan ia mengajak Laila tidur. Yasmin, yang sudah
bersuamikan Lukas Hadi Prasetyo, berselingkuh dengan seorang pastor, Wis, panggilan
Athanasius Wisanggeni, yang berganti nama menjadi Saman saat berada dalam
status buronan. Wis
menjadi buronan karena saat ia diperintahkan oleh ayahnya untuk menjadi seorang
pastor, tetapi ia malah memilih untuk meninggalkan panggilan imamatnya itu demi
menjadi aktivis diantara kaum miskin. Maka ia menjadi buronan dan ia melarikan
diri ke New York.
Saat Saman akan dilarikan ke Amerika , Yasmin dan Saman melakukan hubungan
seksual saat mereka berada di
Pekanbaru,. Hubungan Yasmin yang memperjakai Saman itu berlanjut walaupun ia sudah tinggal di
Amerika dengan cara melalui surat
elektronika (email) yang mampu membuat Yasmin orgasme membaca surat-surat
Saman. Tetapi hubungan itu semakin nyata ketika Yasmin menyusul Saman ke New York. Sementara Cok
adalah perempuan yang sejak duduk di bangku SMA
sudah menganut aliran freesex. Ia bahkan pernah dipindahkan ke SMU di
Bali gara-gara orangtuanya menemukan kondom di tas sekolahnya. Di Bali, justru
petualangan seksnya semakin menjadi-jadi hingga menginjak dewasa. Ia tidur
dengan banyak lelaki, di antaranya dengan menjadi simpanan pejabat militer.
Dengan pejabat militer itulah ia mendapat berbagai fasilitas usaha, sehingga
menjadi pengusaha yang banyak duitnya. Saman yang memilih hidup selibat justru
merangsang Yasmin untuk segera memperjakainya.
Dalam novel Saman karya Ayu Utami ini, banyak sekali
amanat yang ingin disampaikan penulis untuk pembacanya. Salah satunya adalah
masalah moral. Di dalam novel ini moral sama sekali tidak ada harganya.
Tokok-tokoh yang ada di novel ini seakan-akan mereka tidak memiliki moral yang
tinggi, sehingga tokoh-tokoh, terutama tokoh perempuannya mereka melakukan
hubungan seks dengan lelaki yang bukan suaminya. Mereka menganggap bahwa jika
kita ingin melakukan hubungan seks itu boleh dengan siapa saja tanpa ada ikatan
pernikahan diantara mereka. Maka dalam akhir cerita pun tidak ada
tokoh-tokohnya itu yang hidup bahagia.
Selain membicarakan masalah moral, novel ini ternyata
membuka tabir bahwa pergaulan di negeri ini sudah banyak sekali yang
menggunakan cara pergaulan ala orang Barat. Contohnya, pada tokoh Laila diceritakan
bahwa ia merasa tidak nyaman tingal di Indonesia yang identiknya khas sekali
dengan gaya
hidup orang Timur, yang segalanya harus dengan aturan atau norma-norma. Ia
merasa hubungan seksnya yang ia lakukan dengan Selingkuhannya itu tidak puas,
tetapi saat ia menyusul Sihar, lelaki selingkuhannya ke Amerika, hasrat ingin
bercumbu itu sangat besar karena di Amerika sana tidak ada larangan atau
undang-undang yang mengatur jika ingin melakukan hubungan seks itu harus dengan
pasangan sahnya, maka ia sangat senang sekali jika tinggal di Amerika. Pergaulan
di Amerika sangat bebas, penduduk disana tidak mempermasalahkan jika ada orang
yang berciuman di tengah jalan pun. Novel Saman juga menceritakan sebuah
perselingkuhan yang dilakukan oleh tokoh Yasmin yang berselingkuh dengan Saman.
Walaupun Yasmin sudah menikah dengan Lukas, tetapi ia ingin melakukan hasrat
bercumbunya itu dengan Saman, karena ia juga cinta pada pandangan pertama kepada
Saman. Singkat cerita, bahwa betapa tidak berharganya sebuah perkawinan jika
pasangan kita membagi hubungan seksnya itu dengan lelaki lain.
Dalam pergaulan remaja barat, hampir tidak ada “batasan”
antara pria dan wanita. Pacaran yang kemudian dilanjutkan dengan pelukan,
ciuman, bahkan hubungan badan merupakan hal yang biasa. Dengan adanya pengaruh
dari media yang sangat kuat, pergaulan bebas mulai marak dikalangan generasi
muda Indonesia.
Ironisnya budaya ini telah berkembang hingga kekota yang dikenal dengan julukan
“kota pelajar”.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Studi
Cinta dan Kemanusiaan serta Pusat Penelitian Bisnis dan Humaniora (LSCK PUSBIH)
selama 3 tahun, mulai Juli 1999 hingga Juli 2002, dengan melibatkan sekitar
1.660 responden dari 16 Perguruan tinggi negeri dan swasta di Yogyakarta,
diperoleh data bahwa 97,05 % mahasiswinya sudah kehilangan keperawanannya saat
kuliah. ( Solihin , 2003 : 39). Selain karena adanya dukungan media, hal ini
juga disebabkan oleh suasana kos yang mendukung di Yogyakarta,
yaitu tidak adanya kontrol oleh pemilik kos. Hal ini merupakan sebuah
peringatan keras bagi bangsa Indonesia
untuk memperbaiki kondisi generasi muda.
Pada zaman sekarang, perkembangan pergaulan gaya budaya Barat, mulai dari cara berpakaian, cara
berbicara, bahkan cara tata kramanya banyak sekali sudah meracuni budaya Timur,
seperti di Indonesia.
Contohnya jika kita melihat pergaulan di Bali, anak-anak muda disana cara
berpakaiannya tidak ada bedanya dengan orang asing karena di Bali
mayoritas banyak turis yang berlibur kesana, jadi masyarakatnya sendiri terbawa
arus pergaulan budaya Barat.
Setelah saya membaca novel Saman karya Ayu Utami ini, sekarang saya bisa tahu dan sadar bahwa keluarga
berperan sangat penting dalam membimbing anak untuk menentukan mana yang baik
atau tidak untuk dilakukan. Orang tua memegang peranan utama didalam sebuah
keluarga. Segala tindakanya akan berpengaruh besar terhadap perkembangan fisik
dan psikis anak. Selain keluarga yang menjadi salah satu cara untuk mencegah pergaulan
bebas terhadap anak, orang tuapun harus menganggap anak itu sebagai teman dekat
supaya anak tidak canggung untuk bercerita tentang teman-teman yang ada
disekitarnya.
Jika sudah terjadi pergaulan bebas diantara generasi
muda sekarang, maka siapa yang akan disalahkan? Apakah wanita sendiri yang
harus dijadikan “racun dunia” sehingga banyak lelaki yang tergoda dengan cara
berpakaian wanita zaman sekarang yang terbuka sehingga banyak lelaki yang
selingkuh? Atau apakah lelaki yang harus disalahkan sehingga banyak remaja yang
tidak perawan lagi karena nafsu birahi lelaki? Atau kita harus menyalahkan
sistem pergaulan budaya Barat yang sudah terlanjut menyebar kepada penduduk Indonesia?
Menurut saya sebenarnya tidak ada yang salah antara lelaki dan perempuan atau
bahkan budaya Barat itu sendiri. Misalnya walaupun lelaki yang alim tetapi
imannya tidak kuat melihat perempuan yang berpakaian seksi, maka ia akan
berfikir negatif terhadap hal itu. Dan sebaliknya, jika perempuannya yang alim
tetapi ia memiliki iman yang kuat dan ia memiliki pasangan yang seksualitasnya
tinggi, maka perempuan itu akan terjerumus dalam dunia pergaulan bebas.
Maka, pada dasarnya jika kita tidak ingin terjerumus
dalam pergaulan remaja budaya Barat, sebaiknya kita tanamkan dalm diri kita
sendiri iman yang kuat, kita harus gunakan pergaulan budaya Barat dalam sisi
positifnya saja, seperti menggunakan bahasa asing yang baik, menggunakan jalur komunikasi dan
informasinya melalui televisi, internet, telepon selular. Dan jangan lupa, kita
sebagai generasi muda bangsa Indonesia, maka kita jangan pernah tinggalkan
sejarah-sejarah dan selalu menggunakan pergaulan seperti layaknya pergaulan ala
bangsa Timur, kita harus memiliki moral yang tinggi, memiliki tata krama yang
sopan, menggunakan pakaian sopan dalam bergaul supaya kita tidak terjerumus
dalam kehidupan yang ‘glamor’, penuh hura-hura seperti kehidupan budaya Barat.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar