KARYA
MIMIN MINTARI
2222090200
DIKSATRASIA 3A
Sutan
Takdir Alisjahbana, lahir di Natal 11 februari
1908 adalah sastrawan Indonesia.
Menamatkan HKS di Bandung 1928 meraih Mr. dari Sekolah Tinggi di Jakarta
(1942), dan menerima Dr. Honoris Causa dari UI (1979) dan Universiti Sains,
Penang, Malaysia (1987). Diberi nama Takdir karena jari tangannya hanya ada 4.
Pernah menjadi redaktur Panji Pustaka dan Balai Pustaka (1930-1933),
kemudian mendirikan dan memimpin majalah Pujangga Baru (1933-1942 dan
1948-1953), Pembina Bahasa Indonesia (1947-1952), dan Konfrontasi
(1954-1962). Pernah menjadi guru HKS di Palembang (1928-1929), dosen Bahasa
Indonesia, Sejarah, dan Kebudayaan di UI (1946-1948), guru besar Bahasa
Indonesia, Filsafat Kesusastraan dan Kebudayaan di Universitas Nasional,
Jakarta (1950-1958), guru besar Tata Bahasa Indonesia di Universitas Andalas,
Padang (1956-1958), dan guru besar & Ketua Departemen Studi Melayu
Universitas Malaya, Kuala Lumpur (1963-1968).
Sebagai
anggota Partai Sosialis Indonesia,
STA pernah menjadi anggota parlemen (1945-1949), anggota Komite Nasional
Indonesia, dan anggota Konstituante (1950-1960). Selain itu, ia menjadi anggota
Societe de linguitique de Paris (sejak 1951), anggota Commite of Directors of
the International Federation of Philosophical Sociaties (1954-1959), anggota
Board of Directors of the Study Mankind, AS (sejak 1968), anggota World Futures
Studies Federation, Roma (sejak 1974), dan anggota kehormatan Koninklijk
Institute voor Taal, Land en Volkenkunde, Belanda (sejak 1976). Dia juga pernah
menjadi Rektor Universitas Nasional, Jakarta, Ketua Akademi Jakarta
(1970-1994), dan pemimpin umum majalah Ilmu dan Budaya (1979-1994), dan
Direktur Balai Seni Toyabungkah, Bali (-1994).
Dalam
kedudukannya sebagai penulis ahli dan kemudian ketua Komisi Bahasa selama
pendudukan Jepang,Takdir melakukan modernisasi bahasa Indonesia sehingga dapat
menjadi bahasa nasional yang menjadi pemersatu bangsa. Ia yang pertama kali
menulis Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia (1936) dipandang dari segi Indonesia,
buku mana masih dipakai sampai sekarang, serta Kamus Istilah yang berisi
istilah- istilah baru yang dibutuhkan oleh negara baru yang ingin mengejar
modernisasi dalam berbagai bidang. Setelah Kantor Bahasa tutup pada akhir
Perang Dunia kedua, ia tetap mempengaruhi perkembangan bahasa Indonesia melalui
majalah Pembina Bahasa yang diterbitkan dan dipimpinnya. Sebelum kemerdekaan, STA
adalah pencetus Kongres Bahasa Indonesia pertama di Solo. Pada tahun 1970 STA
menjadi Ketua Gerakan Pembina Bahasa Indonesia dan inisiator Konferensi Pertama
Bahasa- Bahasa Asia tentang "The Modernization of The Languages in Asia (29 September-1 Oktober 1967).
ia menulis novel Layar
Terkembang ini di usia 29 tahun. Selain menulis, ia juga menerjemahkan
buku, pendiri dan editor Pujangga Baru. Sutan Takdir adalah penulis yang
produktif. Ia tak hanya menulis novel, tapi juga buku sejarah sastra dan
budaya, artikel, puisi, naskah, dan banyak lagi. Buku-bukunya dikenal hingga ke
luar negeri. Selain Layar terkembang, novel karyanya
adalah Tak Putus Dirundung Malang (1929), Dian Tak Kunjung Padam
, 1932), Anak Perawan di Sarang Penyamun (1940), Grotta Azura
(1970) dan sebagainya.
Kaitan Sutan Takdir Alisjahbana
pada masa Pujangga Baru yaitu nama angkatan
Pujangga Baru diambil dari sebuah nama majalah sastra yang terbit tahun
1933. Majalah itu bernama Pujangga Baroe. Majalah Pujangga Baru dipimpin
oleh Sutan Takdir Alisyahbana, Amir Hamzah, Sanusi Pane, dan Armijn Pane.
Keempat tokoh tersebutlah sebagai pelopor Pujangga Baru.
Angkatan Pujangga Baru disebut
Angkatan Tiga Puluh. Angkatan ini berlangsung mulai 1933 – 1942 (Masa
penjajahan Jepang). Karya-karya sastra yang lahir dalam angkatan ini mulai
memancarkan jiwa yang dinamis, individualistis, dan tidak terikat dengan
tradisi, serta seni harus berorientasi pada kepentingan masyarakat. Di
samping itu, kebudayaan yang dianut masyarakat adalah kebudayaan dinamis.
Kebudayaan tersebut merupakan gabungan antara kebudayaan barat dan kebudayaan
timur sehingga sifat kebudayaan Indonesia menjadi
universal.
Roman
pada angkatan 33 ini banyak menggunakan bahasa individual, pengarang
membiarkan pembaca mengambil simpulan sendiri,
pelaku-pelaku hidup/bergerak, pembaca seolah-olah diseret ke dalam suasana
pikiran pelaku- pelakunya, mengutamakan jalan pikiran dan kehidupan
pelaku-pelakunya. Dengan kata lain, hampir semua buku roman angkatan
ini mengutamakan psikologi.
Ciri-ciri
karya sastra pada masa Pujangga Baru antara lain : Tema utama adalah
persatuan, Beraliran Romantis Idialis,
Dipengaruhi angkatan 80 dari negeri Belanda, Genre sastra yang paling banya adalah roman, novel, esai, dan
sebagainya, Karya sastra yang paling menonjol adalah Layar Terkembang, Bentuk puisi dan prosa lebih terikat oleh
kaidah-kaidah, Isi bercorak idealisme, dan Mementingkan penggunaan bahasa yang
indah-indah.
Contoh
roman pada angkatan ini, yaitu Belenggu karya Armin Pane
(1940) dan Layar Terkembang karya Sutan Takdir
Alisyahbana. Di samping itu, ada karya roman lainnya,
diantaranya Hulubalang Raja (Nur Sutan Iskandar,
1934), Katak Hendak Menjadi Lembu (Nur Sutan Iskandar,
1935), Kehilangan Mestika (Hamidah, 1935), Ni Rawit (I
Gusti Nyoman, 1935), Sukreni Gadis Bali (Panji Tisna, 1935), Di
Bawah Lindungan Kabah (Hamka, 1936), I Swasta Setahun di Bendahulu (I
Gusti Nyoman dan Panji Tisna, 1938), Andang Teruna (Soetomo Djauhar
Arifin, 1941), Pahlawan Minahasa (M.R.Dajoh, 1941).
Jika kita lihat ciri-ciri karya sastra pada
sejarah tentang karya-karya sastra yang muncul pada masa Pujangga Baru, memang
nyata sekali pada novel Layar terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana. Sebelumnya,
saat saya mendengar judul dari buku ini saya pikir
ceritanya tentang seorang nelayan yang sedang mencari ikan di laut atau cerita
tentang sebuah kapal yang sedang berlayar. Tetapi itu semua salah, karena yang
sebenarnya cerita dari novel ini adalah Layar Terkembang yang merupakan sebuah novel bernuansa roman karya Sutan
Takdir Alisjahbana. Ceritanya melukiskan perjuangan wanita Indonesia beserta
cita-citanya. Roman ini memperkenalkan masalah wanita Indonesia yang mulai
merangkak pada pemikiran modern. Kaum wanita mulai bangkit untuk memperjuangkan
hak-haknya sebagai wanita, berwawasan luas, serta bercita-cita mandiri. Masalah
lain yang dipersoalkan dalam roman ini, yaitu masalah kebudayaan barat dan
timur. Juga termasuk masalah agama.
Kisah bermulai dari sosok
kakak beradik yang berpengarai berbeda, Tuti dan Maria. Tuti seorang kakak yang
selalu serius dan aktif dalam berbagai kegiatan wanita. Ia bahkan aktif dalam
memberikan orasi-orasi tentang persamaan hak kaum wanita. Pada saat itu,
semangat kaum wanita sedang bergelora sehingga mereka mulai menuntut persamaan
dengan kaum pria. Pada sosok Tuti,
dalam perjalanan hidupnya, ia menjadi anggota Putri Sedar yang sering berpidato
tentang fenimisme didunia ini. Seperti contoh dalam pidatonya, yaitu “ hitam,
hitam sekali penghidupan perempuan bangsa kita di masa yang silam, lebih hitam,
lebih kelam dari malam yang gelap. Perempuan bukan manusia seperti laki-laki
yang mempunyai pikiran dan pandangan sendiri, yang mempunyai hidup sendiri,
perempuan hanya hamba sahaya, perempuan hanya budak yang harus bekerja dan
melahirkan anak bagi laki-laki, dengan tiada mempunyai hak. Setinggi-tingginya
ia menjadi perhiasan, menjadi permainan yang dimulia-muliakan selagi disukai,
tetapi dibuang dan ditukar apabila telah kabur cahayanya”. Tuti imgim derajat
perempuan itu disejajarkan dengan derajat laki-laki, tuti ingin membuktikan
kepada seluruh dunia bahwa perempuan juga bisa berperan penting dalam mebangun
lapangan pekerjaan.
Sedangkan Maria adalah adik yang lincah dan
periang sehingga semua orang yang berada di dekatnya pasti akan menyenangi
kehadirannya. Di tengah-tengah dua dara jelita ini, muncullah Yusuf, seorang
mahasiswa kedokteran, yang pada masa itu lebih dikenal dengan sebutan Sekolah
Tabib Tinggi. Sejak pertemuannya yang pertama di gedung akuarium Pasar Ikan,
antara Maria dan Yusuf timbul kontak batin sehingga mereka menjadi sepasang
kekasih.
Sementara itu, Tuti yang
melihat hubungan cinta kasih adiknya sebenarnya berkeinginan pula untuk
memiliki seorang kekasih. Apalagi setelah ia menerima surat cinta dari Supomo,
seorang pemuda terpelajar yang baik hati dan berbudi luhur. Namun, karena
pemuda itu bukanlah idamannya, ia menolak cintanya. Sejak itu hari-harinya
semakin disibukkan dengan kegiatan organisasi dan melakukan kegemarannya
membaca buku sehingga ia sedikit melupakan angan-angannya tentang seorang
kekasih. Kemudian sebelum supomo yang menyatakan cintanya pada Tuti, sosok laki-laki
yang bernama Hambali pun pernah menyatakan cintanya pada Tuti, tetapi Tuti pun
menolak cinta laki-laki itu seperti ia menolak cintanya Supomo, karena ia tidak
ingin mempunyai pacar bahkan jika nanti akan menikah, perjuangannya
mempertahankan hak-hak wanita dikekang oleh suaminya. Maka Tuti pun s iap tidak
menikah sepanjang hidupnya demi memperjuangkan gender perempuan. Ia akan
memperjuangkan, bahwa perempuan dalam bidang apapun itu termasuk bidang
pekerjaan yang khusus dilakukan laki-laki, perempuan juga bisa mengerjakannya.
Amanat yang terdapat pada
novel ini antara lain adalah masalah hak-hak perempuan yang selalu di pidatokan
oleh Tuti pada saat kongres berlangsung. Pada masa itu, hak-hak perempuan sudah
hilang dan tidak ada harganya, perempuan hanya budak saja bagi laki-laki. Dan
pada masa itu, orang tua menyarankan bahwa kita sebagai seorang perempuan
tidaklah harus sekolah tinggi-tinggi, karena setelah itu perempuan akan
menikah, tinggal diam dirumah, melayani suami, menyiapakan makannya, menyiapkan
pakaian kerjanya, dan melahirkan anak serta mengurusnya dirumah. Oleh karena
itu, kehidupan dan lingkungan perempuan hanya dirumah dan rumah. Perempuan
dianggap lemah, pendidikan budi pekerti perempuan semata-mata ditujukan untuk
keperluan laki-laki, segala sifat lemah itulah yang dijadikan laki-laki untuk
perempuan menjadi budak dalam kehidupannya. Bahkan Tuti berfikir dia tidak mau
menikah seumur hidupnya, jika itu cuma untuk melampiaskan kesepiannya saja
menjalani hidup ini dan dia tidak mau menjadi budak seorang laki-laki jika
kebebasan perempuan untuk menjadi yang lebih baik ditentang oleh suaminya
kelak.
Jika pandangan Tuti itu
terjadi pada perempuan pada masa
globalisasi saat ini, mungkin masih ada beberapa yang menjalani hidupnya demi
pekerjaanya dibandingkan menjalani kehidupan menjadi seorang istri yang hanya
akan menjadi budak bagi suaminya saja, tapi mungkin ada sebagian perempuan yang
malah menentang prinsip hidup Tuti itu. Tetapi menurut saya pribadi, saya tidak
terlalu setuju dengan prinsip Tuti itu, karena dalam agama, Allah sudah
mempersiapkan jodohnya masing-masing unutk umatNya. Jadi jika ada laki-laki
yang sudah menyatakan cintanya kepada kita, cobalah kita terima cintanya itu
sepenuh hati dan sebaiknya jika laki-laki itu memang serius mengajak menikah,
buatlah komitmen kita sebagai pasangan agar jika nikah nanti suami tidak
mengekang kita unntuk tetap bekerja dan membangun lapangan kerja diluar, agar
kita tidak hanya tinggal dirumah saja dan pergaulan kita dibatasi. Dan jika ada
pepatah dahulu mengatakan ” Seorang perempuan tidak usah sekolah tinggi-tinggi,
karena ujungnya pekerjaan perempuan itu hanya di dapur, sumur, kasur”. Dan
dalam kenyataannya, memang masih ada orangtua yang menerapkan itu kepada
anaknya, sehingga di desa perempuan yang lulusan SD saja sudah ada yang
menikah.
Sebaiknya, kita sebagai
perempuan jika sudah menikah ikutilah keinginan suami karena suami adalah
kepala keluarga. Istri boleh saja bekerja membantu suami untuk menambah
penghasilan dalam keluarga, tetapi istri pun harus memilih pekerjaan yang tidak
terlalu sibuk, sehingga anak dan suaminya ia terlantarkan. Dan istri jika memang
bekerja, ia harus menomor satukan keluarganya, dan kemudian jika pekerjaan
istrinya lebih tinggi jabatannya daripada pekerjaan suaminya, istripun harus
tetap patuh kepada suami jika sudah dalam rumah. Jadi kesimpulannya, boleh kita
mementingkan pekerjaan dulu daripada jodoh, tetapi jika umur kita sudah mapan
untuk menikah apa salahnya pekerjaan itu ditunda sebentar dan janganlah mau
kita sebagai perempuan harus menjadi perempuan lajang seumur hidup kita karena
itu akan merugikan diri kita sendiri.
Amanat selanjutnya yang saya nilai dari
novel ini adalah kisah asmara antara Maria dan Yusuf. Jika memang ada pasangan
kekasih yang seperti itu, sangat cocok sekali dilihatnya. Maria yang periang,
salalu ramah kepasa siapapun, wanita yang suka dengan tanaman termasuk bunga
dan ia sangat menyukai pemandangan alam, sedangkan Yusuf yang sangat dewasa
bisa ’ngmong’ Maria saat sifat kekanak-kanakannya muncul, ia sangat pengertian
dengan kekasihnya, ia juga suka dengan pemandangan. Pokoknya mereka adalah
pasangan yang serasi. Tetapi pada akhir cerita, bahwa ternyata Maria masuk
rumah sakit karena penyakit TBS yang dideritanya. Saat itu Maria sudah putus
asa menjalani hidup sehari –hari dirumah sakit, karena kondisinya semakin hari
bukannya semakin baik, malah semakin buruk. Sebagai seorang kekasih, Yusuf pun
selalu mendoakan dia supaya Maria bisa sembuh total dan mereka bisa
melaksanakan acara pernikahan mereka. Yusuf pun berjanji, jika sekolah
kedokterannya selaeai, ia akan memperdalam pengetahuannya tentang penyakit TBS
itu, supya ia bisa merawat sendiri kekasihnya ituu dirumah. Yusuf adalah
laki-laki yang sangat setia dan pengertian. Tetapi pada akhir cerita, ternyata
Maria meninggal dunia dan ia berpesan kepada kakaknya, Tuti, supaya ia
menggantikan posisinya sebagai istri Yusuf kelak. Dan dengan permintaan Maria
itu, Tuti dan Yusuf langsungmelaksanakan pernikahan mereka berdua.
Maria adalah perempuan yang sangat mulia,
sebelum ia dipanggil oleh Yang Maha Kuasa, Maria masih sempat menulis surat
kepada kakaknya sebagai amanat ia yang terakhir. Isinya itu ialah Maria ingin
jika ia meninggal, Tuti harus menggantikan ia menikah dengan Yusuf karena ia
tahu Yusuf adalah laki-laki yang sangat dewasa, baik hati, dan penyayang. Maria
ingin Tuti menikah dengan Yusuf, dengan cara seperti itu maka Tuti tidak akan
selalu mengurusi organisasinya saja, Mariapun yakin Yusuf tidak akan mengekang
kegiatan Tuti jika menikah nanti. Maria akan bahagia jika dua orang yang
disayanginya itu bersatu dalam ikatan cinta. Cerita cinta yang sangat mengharu
biru!!
Dalam novel ini juga ada yang membahasa
tentang filsafat, yang lebih tepatnya adalah filsafat India yang masih berhubungan
dengan fenimisme atau emansipasi wanita, sama halnya dalam novel Ziarah. Tetapi
ada bedanya pula, jika dalam novel ini filsafatnya hanya dibahas secara
seluntas saja saat ada kongres berlangsung, sedangkan dalam novel Ziarah
filsafat itu membahas tentang kematian.
Secara keseluruhan isi cerita ini sangatlah bagus. Alur yang ditulis
sudah sistematis dimulai dari pengenalan, klimaks, antiklimaks, hingga
penyelesaian yang sangat dramatis. Novel ini bisa membawa para pembaca
seolah-olah menjadi penonton dalam sebuah drama percintaan yang mengharukan.
Kisah ini mengingatkan kita bahwa walaupun pasangan yang sudah berpacaran
bertahun-tahun menjalin cinta dan berangan-angan untuk melanjutkannya ke jenjang
pernikahan, tetapi jika Sang Maha Penguasa berkehendak lain telah
menakdirkannya dengan yang mana ia akan menjadi pendamping hidup kita dikala
kita suka maupun duka, kita harus menerimanya dengan ikhlas.
DAFTAR PUSTAKA
·
http://id.wikipedia.org/wiki/Sutan_Takdir_Alisjahban
·
http://www.anneahira.com/ringkasan-layar-terkembang.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar